hingga nafas terakhirnya

Siang ini, matahari kian lama kian mengujung. Teriknya seumpama lidah api yang menjilat-jilati sekujur tubuh kurusnya. Ia terpontang–panting tak menentu. Tiba-tiba, tubuhnya terkulai menghunjam tanah. Tubuh kurusnya tergeletak bersejajar dengan kerikil-kerikil tajam. Pak Siman semaput. Tak sadarkan diri.
Telah seminggu ini ia hanya menengguk secangkir air yang ia timba dari sumur tua di pekarangan rumahnya yang kumuh. Istrinya telah lama terselimuti penyakit Asthma Bronchiale. Anak perempuan semata wayangnya seujung-ujung kukupun tak pernah mengecap pendidikan. Lelaki paruh baya itu tak punya biaya.
Hanya uang seribu perak satu-satunya menjadi harta berharganya. Itupun berdosa jika ia berani membelanjakan atau membuangnya. Amanah dari orang tuanyalah sebabnya. Uang itu adalah jimat. Jimat yang harus ia jaga betul-betul.
“Ning!! Ning!! Ning Syifa!! Mana kau ning!!.”
Pak Sahid berteriak-teriak bak orang kesurupan. Ditangannya terkulai tubuh lemas Pak Siman. Ia menggotongnya.
“Astaghfirullah, Pak Lek. Ada apa dengan Bapak? Kenapa Bapak, pak lek?!!”
Syifa lari pontang-panting dihalaman depan rumahnya yang becek. Ia menyambut Pak Sahid dengan mimik muka yang lara setelah mendapati Bapaknya terkapar lemah.
“Aku menemukannya di depan Masjid tergeletak di tanah, ning!! Bapakmu tak sadarkan diri”
Jauh di kerlap-kerlip sudut kota sana, penghitungan suara Pemilihan Wakil-Wakil Rakyat tengah dilangsungkan. Wajah mereka penuh cemas. Drs. Ainul Amanah, SH Dari partai yang berbentuk bulan itu sumringah, Torus-torus berbentuk pagar itu tak jemu tertulis di samping namanya yang luar biasa. Lain cerita dengan Zaini Arba’in, SE dari partai burung itu. Wajahnya pasi, tak ada sedikitpun rasa kebahagiaan yang tersirat. Ia mengusap-ngusap dasi warna merahnya ke seluruh mukanya. Keringat dingin itu bercucuran deras.
Malam ini purnama ke lima belas. Syifa mengusap-ngusap kening kedua orang tuanya secara perlahan dan bersamaan. Ia menangis dengan penuh sedu sedan. Harus pada siapa lagi ia mengadu? Bapak ibunya pun tak bisa ia andalkan untuk mengadu. Didalam rumahnya yang terlapisi anyaman bambu itu, ia memeluk tubuh Bapak Ibunya yang renta. Gadis itu sesenggukan.
Seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia mengusap air mata dimukanya dengan kerudungnya. Ia membuka pintu dengan perlahan. “Assalamualaikum” salam orang itu.
“Waalaikumsalam, pak Ranto! Ada apa malam-malam begini kerumah, pak?”
Pak Ranto adalah seorang tetangganya yang telah mengontrakkan rumah yang ditempati Syifa dan Bapak Ibunya.
Wajah Pak Ranto menunduk. Ia tak tega ingin mengatakan sesuatu itu. Tapi, dengan terpaksa ia harus mengatakannya.
“Begini, ning Syifa. Sekarang hari terakhir bayar rumah kontrakkan keluargamu setelah jatuh tempo kemarin ……”
“Maaf ya Pak. Saat ini Bapak dan Ibu saya sakit. Beli obatpun saya ndak punya uang, pak. Apalagi bayar kontrakkan. Insya Allah bulan depan saya bayarkan, pak” Syifa memotong pembicaraan Pak Ranto.
“Tapi, kalau dua minggu lagi, bagaimana ning?”
Syifa termenung. Wajahnya kaku. Ia memalingkan mukanya kearah Bapak Ibunya yang tertidur lemah. Kemudian ia menatap pak Ranto dengan gemuruh jiwanya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Insya Allah, pak. Insya Allah, saya akan usahakan”
Kasihan gadis itu. Umurnya masih 13 tahun. Tapi ia telah menanggung beban keluarganya. Setiap hari ia hanya jadi juru cuci piring di warung Bu Nasmi. 5000 rupiah selalu ia genggam sepulang dari sana. Tapi naas buatnya. Tadi siang uang yang ia peroleh dari mencuci piring itu diambil dengan paksa oleh rampok yang ternyata masih kakaknya dari adik ibunya yang lahir dari neneknya yang menjadi istri kedua kakeknya.
“Syifa! Syifaaa!..”

Suara Ibunya terdengar lirih. Ia memanggil Syifa. Penyakit Asthma nya kambuh. Nafasnya tersendat-sendat. Wanita kurus itu terjatuh ketanah. Syifa terperanjat kaget. Mukanya berceceran air mata. Ia berusaha menggotong tubuh Ibunya yang tak berenergi. Keringatnya bercucuran di tanah. Urat-urat tangannya menyembul. Hatinya perih. Dengan sekuat tenaga, ia mengembalikan tubuh Ibunya ke ranjang.
Ia ambil segelas air minum. Ia tenggukan kedalam mulut Ibunya yang semakin lama semakin menguap-nguap. ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Pak Siman siuman. Ia mendapati Istri dan anak semata wayangnya melelehkan air mata. Istrinya tetap saja bernafas seperti tengah di sakaratul maut. Dengan tubuh yang masih lemah, ia berusaha memegang tangan istrinya yang hanya menyisakan tulang dan urat itu. Pening dikepalanya tak ia hiraukan lagi. Wanita yang telah menjadi cinta pertamanya itu ia gendong keluar rumahnya. Ia berlari. Tujuannya puskesmas terdekat.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Syifa memanggil-manggil nama Ibunya. Suaranya lirih menyentuh hati.
“Ibuuu! Ibuuu! …”

Lelaki paruh baya itu pun juga tak berhenti membisiki telinga kanan istrinya.
“Dik, bertahanlah. Sebentar lagi kita sampai di puskesmas. Aku mohon bertahanlah, dik. Kau pasti akan sembuh!! Percayalah padaku. Kau akan sembuh, dik!”
Ia tiba di puskesmas dengan keringat yang bercucuran. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya memutih. Stamina Pak Siman lambat laun memudar. Istrinya masih tak berhenti menaklukan nafasnya yang tersendat-sendat. ia memanggil-manggil nama Suami dan anaknya seperti angin. Hanya dia dan Allah yang mendengar dan merasakannya.

Gadis 13 tahun itu meremas-remas tangan Ibunya. Matanya memerah. Tangisnyapun belum berakhir. Wajah Pak Siman bisa tertebak: Ia tak ingin malam ini menjadi malam terakhir bersama istri yang dicintainya itu. Bidan menyuntikan cairan aneh ketubuh Bu Siman melalui jarum suntik. Tapi sayang, Asthma Bronchiale itu semakin meraja. Ia tak takluk. Cairan itu sedikitpun tak mepan. Helaan Nafas Bu Siman semakin cepat. Matanya mendelik serupa orang sawan. Tangan kirinya menggenggam telapak tangan anak semata wayangnya. Tangan kanannya menyentuh dada kiri suaminya. Tubuh kurusnya kaku. Nafasnya berhenti. Matanya perlahan-lahan terpejam. Wajahnya pucat. Wanita kurus itu meregang nyawa. Ia wafat.
Tangisan Syifa semakin terdengar. Ia mencium tangan ibunya. Pak Siman memejamkan matanya. Untuk yang terakhir kalinya, ia mengecup kening istrinya dengan penuh syahdu. Malam ini menjadi malam terakhirnya dengan istrinya. Wanita yang telah menjadi tambatan cinta pertamanya itu, telah menjadi cinta terakhirnya.
Zaini Arba’in, SE melonjak. Didetik-detik terakhir, ia berhasil mengungguli Drs. Ainul Amanah, SH. Semua orang yang hadir menyalaminya. Malam ini adalah malam tak terlupakan baginya. Wakil rakyat baru itu tersenyum garang. Wajahnya bisa tertebak: Ia ingin malam ini menjadi malam pertama bersama pangkat barunya.

“Bersyukurlah, selagi nafas kita belum yang terakhir ….”

Rate this posting:
{[['']]}
Share On:

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

resize gif here

Social Icons

Featured Posts