Menyemai Cinta Dari Palestina
Sinar bulan purnama turut menemani indahnya malamku yang terasa
begitu sunyi. Kulirikkan mata ini pada indahnya maha karya sang
penguasa alam. Ingatanku kembali merayap kemasa-masa indahku di Jogja.
Bersama sanak saudaraku disana. Namun kini aku sendiri di Jakarta,
tempatku mencari ilmu dan sekaligus untuk berdakwah serta menjadi
seorang musafir yang ingin mencari sebuah jati diri.
Dengan ditemani secangkir coklat hangat dan beberapa bungkus cemilan,
kumainkan jari jemariku diatas laptopku. Ku jelajahi dunia internet
yang terkenal begitu luas. Setelah mendapatkan informasi, aku terfikir
untuk membuka facebookku yang bernama “ Ukhty Riana Anggraini“ yang
sudah hampir tiga minggu tidak ku update. Setelah menanggapi beberapa
permintaan pertemanan, aku membuka sebuah pesan dari seorang akhwat.
“Assalamu’alaykum.wr.wb. ini Ukhty Riana Anggraini kan?”
Kebetulan dia sedang online juga, aku pun mereply pesan darinya.
“Wa’alaykumsalam, warahmatullahh. . , na’am ukh, ana Riana.”
Kemudian ia membalas
“begini ukh, ana ingin ikut jadi relawan palestina, ukhty panitia para akhwatkan?”
“na’am ukh, Alhamdulillah nambah satu mujahidah lagi nih”
“ afwan ukh, masmuki?”
“oh iya, ana Dina Alfath ukh, ana min Jakarta syarqiyyah”
“jazakallahhu khayran katsiir ya ukh atas partisipasinya, ruuhul jihad
ukh!. untuk lebih lanjutnya, nanti ana kerumah anty, ini no ana,
0852468664xx, sms alamatnya ya. assalamu’alaykum”
“wa’alaykumsalam”
Memoriku kembali berputar menuju sebuah penindasan penindasan yang
pernah kulihat pada saudara saudaraku. Saudara saudariku yang tengah
menghadapi para zionis terlaknat dan biadab.
“Negeri para nabi, tempat para rasul
Kini tlah berubah jadi kubur
Yahudi, kau terlaknat!”
Para zionis biadab yang telah membuat anak anak kehilangn sanak
saudaranya. Dan kini menjadi yatim dan piatu. Kini ragaku tengah
terpatri untuk membantu mereka. Kalaupun aku harus syahid, aku ikhlas.
Karena jiwaku benar benar perih melihat pedihnya penderiataan saudara
saudaraku di Palestina,
“pokoknya, Palestine will be free” gumamku dalam hati.
Dengan ditemani kesibukanku sebagai seorang dokter dan mengasuh
sebuah panti asuhan, waktu seakan begitu cepat. Tiga hari lagi aku akan
berangkat ke sebuah negeri yang sangat membutuhkan sebuah bantuan.
Surat cuti selama dua minggu telah ku ajukan pada rumah sakit yang
sebenarnya adalah rumah sakit milik Ayahku yang kini diurus oleh Mas
Rian, kakak kandungku. Dan kini aku tinggal meminta do’a restu pada
kedua orang tuaku.
“Aby, Umy, Insya Allah tiga hari lagi Riana berangkat. Mohon do’anya ya by, my.”
“ iya anakku, insya Allah aby sama umy sudah merestuimu. Semoga Allah
menjagamu dan teman-temanmu ya. Jangan lupa shalat dan berdo’alah
padanya, semoga langkah kalian semua dipermudah!”
“aamiin, syukran ya by. Assalamu’alaykum warahmatullahh. . ’
“Wa’alaykumsalam warahmatullahh. . . ”
Dari perbincanganku dengan aby dan umy, aku tahu bahwa ada sebuah
kekhawatiran disana. Kekhawatiran pada seorang anak “gadis” semata
wayangnya.
Setelah persiapan selesai, aku berangkat menuju bandara bersama
teman-temanku yang semenjak kemarin menginap dirumahku. Dengan
menggunakan taksi hampir selama 45 menit, akhirnya kami tiba dibandara.
“afwan kami agak terlambat, jalanan agak macet.” Ucapku.
“tak apa.” Jawab seseorang dengan singkat dan tenang.
Entah mengapa, perasaanku tak karuan mendengar suara itu. Suara yang sepertinya telah lama tidak kudengar.
Pesawat kami mengudara tepat pada pukul tiga siang. Sungguh betapa
indahnya maha karyaNya yang begitu sempurna. Yang takkan pernah
tertandingi oleh siapapun, bahkan oleh seorang professor dan manusia
terjenius sekalipun.
Temanku Airin nampak tertidur setelah beberapa lama ia mendengarkan
murattal dari mp3 playernya. Hanya aku dan beberapa orang yang saja yang
masih tak terbuai dalam sebuah mimpi. Karena kali ini aku sengaja
membawa novel favoritku “ Diorama Sepasang Albanna”, yang telah kubaca
berulang-ulang kali. Sebuah buku yang kurasa begitu kompleks, dan tak
pernah bosan untuk dibaca. Dengannya, kunikmati perjalanan yang tenang
dalam dendangan pesawat yang menabrak awan.
Setelah beberapa jam, akhirnya pesawat kami mendarat. Para rombongan
pun segera menuju sebuah bus yang akan membawa kami menuju posko untuk
para relawan. Sesampainya diposko, ritual pun dimulai dengan mandi
bergantian. Selepas mandi, kami shalat berjamaah disebuah mesjid dekat
posko.
“Subhanallah, indah sekali ya ukh lantunan ayat dari imam tadi.” Ucap Ratih.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju.
“tapiii, kayanya ana kenal suara itu loh ukh.” Timpal Rena sembari mengingat-ingat.
“aha, ana tau itu suara siapa.” Ucapnya lagi.
“siapa ukh?” Tanya Ratih.
“Akhy Rasyiid!” jawabnya.
“ohhh” sahutku dan Ratih beriringan.
Sehabis shalat, kamipun tertidur dengan lelapnya.
Pagi yang cerah nan sejuk dinaungan bumi Palestina. Namun tiba-tiba
terdengar ledakan keras dari arah luar mesjid. Kami yang telah
menunaikan shalat subuh berjamaah berlarian menuju keluar mesjid.
“Mungkin ini sudah waktunya, bismillahh” gumamku sembari berlari menuju
seorang anak kecil yang terkapar ditanah. Aku menggendongnya menuju
posko pengobatan. Seorang anak laki-laki yang menggunakan baju koko dan
peci. Dari pakaiannya, aku tahu bahwa ia baru selesai shalat bersama
kami. Ia menangis dan mencoba menahan rasa sakit akibat terkena ledakan.
Kakinya berlumuran darah dan kemungkinan ia. . . akan kehilangan
kakinya.
Aku mengobatinya dengan hati-hati, karena aku tahu ia sedang kesakitan.
“Masya Allah, kasihan sekali anak ini.” lirihku.
Kakinya diamputasi setelah dilakukan operasi selama hampir tiga jam. Dan kini, kaki kananya telah hilang tak berbekas.
“Ya Rabbi, kuatkan ia.” Do’aku.
Satu jam kemudian, ia siuman dan mulai membuka matanya secara perlahan. Aku segera mendekatinya dan kuberi salam padanya.
“Assalamu’alaykum warahmatullahhi wabarakaatuh.”
“wa’alaykum. . . salllam warahma. . tullahh..i wabarakaatuh” sahutnya dengan terbata-bata.
Untuk beberapa saat, ia terdiam dengan sesekali melihatku.
“maa haazha mustasfha?” tanyanya
“Na’am, haazha mustasfha!” sahutku.
Ia terdiam dan sesekali memperhatikanku yang tepat berdiri disampingnya.
Kemudian ia bercerita tentang keluarga, teman-temannya, dan banyak hal.
Dengan cepat kami akrab bagaikan sepasang saudara. Darinya, aku tahu
bahwa ia telah kehilangan sanak saudaranya. Dari ayah, ibu, kemudian
adiknya yang bernama Aisyah. Bahkan hampir saja kuteteskan air mataku
dihadapannya. Tapi aku tak tega menangis dihadapannya hingga akhirnya
kutahan air mata ini agar tetap terjaga diperaduannya.
Setelah ia selesai bercerita, aku menawarinya untuk makan siang.
“ Anta jai’?” tanyaku dengan tersenyum padanya.
Ia tersenyum dan mengangguk. Akupun menyuapinya hingga akhirnya ia tertidur dalam dekapanku.
Tanpa setahu Riana, ada seseorang yang sedang memperhatikannya
dibalik dinding yang cukup transparan. Sesosok manusia itu adalah
seorang ikhwan tampan yang bernama Rasyid Fikri. Seseorang yang semenjak
di LDk dulu mengagumi sepak terjang Riana. Namun ia tak pernah
mempunyai kesempatan untuk mengatakan maksud hatinya pada murabbi Riana.
Karena begitu sibuknya ia dalam memimpin LDK sekaligus kuliah dan
bekerja. Hingga akhirnya ia diwisuda dan lulus kuliah.
Hari demi haripun berlalu hingga akhirnya tepat satu tahun semenjak ia
tak pernah melihat Riana lagi. Ia berjumpa kembali dengan Riana di Rumah
sakit, tempat Ibunya dirawat karena penyakit diabetesnya dan Rianalah
yang merawat Ibunya. Bahkan Ibunya menyukai sosok dokter muslimah
seperti Riana. Yang begitu anggun dengan jilbab besarnya.
Ujung-ujungnya, ia kembali meminta Rasyid untuk segera menikah dan
mencari isteri seperti Riana.
“Rasyid, Ibumu ini sudah tua dan sakit-sakitan, Bapakmu sudah nda ada,
usahamu sudah punya banyak cabang, adikmu sudah hampir lulus kuliahnya.
Umurmu juga sudah 28 tahun, sudah waktunya untuk melengkapi separuh
agamamu…” jelas ibunya.
Rasyid hanya terdiam dan merenungi apa yang dikatakan Ibunya.
Tanpa terasa, sudah tiga hari Riana dan teman-temannya di Palestina.
Riana semakin akrab dengan masyarakat disana yang sungguh ramah. Ia
membantu mengobati para korban yang terluka, ia mengajak anak-anak
bermain, dan mengajari mereka tentang banyak hal. Namun tiba-tiba
terdengar ledakan yang semakin lama semakin terdengar mendekat. Dengan
sigap, ia membawa anak-anak itu menuju tempat berlindung dengan
menggendong dan menggandeng tangan mereka satu persatu. Mereka menangis
dan sesekali menyemarakkan kalimah Allah. Namun tanpa sepengetahuan
Riana, ada seorang pria berkaos hitam dan bertopeng mengintainya dari
kejauhan dengan sesekali berjalan mendekatinya. Dan tiba-tiba. . .
“dorrr!!”
Terdengar bunyi tembakkan dengan keras dari belakang yang beriringan dengan teriakan Airin. .
“ka Riana. . .awas!!”
Riana terjatuh dan seorang anak dalam dekapannya menangis. Tembakkan itu
tepat mengenai kaki kanannya yang berusaha berlari menuju tempat untuk
melindungi anak-anak yang ketakutan.
Melihat Riana terjatuh, Airin segera meminta pertolongan dari
teman-temannya. kemudian datanglah Erna, Nadia, Aisyah dan Rina. Mereka
membawanya kesebuah tenda khusus untuk mengobati korban yang terluka.
Darah segar terus menetes dari kakinya sedangkan ia tak sadarkan diri
untuk beberapa saat. Hingga beberapa jam kemudian, akhirnya Riana
siuman. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya yang telah beberapa jam
tak terbuka.
“afwan ya ukhty kalau ana merepotkan antum” ucapnya pelan.
“gak papa ko ukh, gimana keadaan ukhty?” jawab Nadia dengan lembut.
“Alhamdulillah sudah enakan ko, insya Allah ana sudah gak papa.” Jawab Riana.
“ya sudah, anty istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh ya ukhty.” Do’a teman-temannya.
“aamiin” ucap mereka serentak.
Lima hari kemudian, Riana dan relawan lain kembali menuju Indonesia.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba dibandara
Soekarno-Hatta, Jakarta. Para keluarga mereka juga telah menunggu
kedatangan mereka disana. Dengan sedikit tertatih, Riana menuju kedua
orang tuanya yang telah menunggunya. Terlihat gurat-gurat kerinduan dan
kekhawatiran disana.
“Masya Allah Na, kakimu kenapa to nduk?” Tanya Ibunya, khawatir.
“Kaki Riana gak kenapa-napa ko umy, Cuma sakit sedikit saja.” Jawabnya
dengan tersenyum dan mengajak kedua orang tuanya untuk segera menuju
restoran.
Sesampainya direstoran, tanpa sengaja mereka bertemu dengan teman lama Ibunya.
“Hai jeng, ngapain disini?” ucap seorang Ibu-ibu dengan seorang anak kecil disampingnya.
“ini, habis jemput Riana.” Jawab Ibunya, seadanya.
“oh..ini Riana….? Yang seumuran sama anak saya Lisa kan?” Tebak Ibu itu.
“iya.” Sahut Ibu Riana dengan tersenyum.
“loh, suaminya ko gak jemput?” Tanya Ibu itu lebih detail.
“anak saya belum menikah Ci, ini cucumu ya? Putrinya Lisa?”
“belum nikah jeng? Umurnya sudah 26 to? Wah bisa-bisa gak…”
“Bu, makanannya keburu dingin tuh. Ayo dimakan dulu.” Ucap Riana, mencoba mendinginkan suasana.
Seminggu setelah kepulangan Riana dari Palestina, budenya datang kerumahnya.
“to the point aja ya Na, sebenarnya bude kesini untuk mengantarkan berkas ta’aruf untukmu.”
“ha? Si…siapa bude?” koment Riana dengan tergagap.
Karena ia hampir tak percaya mendengar ucapan yang baru saja disampaikan padanya.
“Namanya Rasyid Fikri Na, dua hari yang lalu dia meminta tolong pada
Pamanmu untuk mencarikannya calon isteri. Setelah Pamanmu bilang bahwa
kami memiliki keponakan yang belum menikah dan kami berikan berkas
ta’arufmu, dia langsung menyetujuinya Na.” jelas budenya.
“a..apa? Rasyid Fikri?” Tanya Riana, tergagap.
“iya, insya Allah dia adalah lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab, mapan, dan insya Allah sholeh..” jelas Budenya lagi.
“Insya Allah..Riana mau bude.. !” ucapnya, mantap.
Riana terkejut melihat siapa yang berada dibalik pintu yang ia buka.
“wa’alaykumsalam warahmatullaahh.. silahkan masuk. Saya panggil Bapak sama Ibu dulu ya Pak, Bu. Silahkan duduk dulu..” pintanya
Riana hanya terdiam dikamarnya dengan sesekali mendengarkan pembicaraan dua keluarga yang sedang merancang masa depannya.
Tiga minggu berlalu….
Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu telah menjemput Riana yang
kini tengah berdebar-debar hatinya. Hatinya gelisah, rasa takut dan
bahagia bercampur padu. Hingga tepat pukul 8 pagi, Rasyid dan
keluarganya tiba dirumahnya. Acarapun dimulai setelah 15 menit kemudian.
.
“saya terima nikah dan kawinnya, Riana Anggraini binti Ahmad Yani dengan
maskawin sebuah tasbih mutiara dan seperangkat alat shalat dibayar
tunai!!” ucap Rasyid dengan lantang, mantap dan tenang.
“bagaimana para saksi?” Tanya penghulu.
“sah!!” ucap semua saksi.
“barakallahhulakuma wa baraka’alaykuma bikhayr. . .” do’a penghulu yang menikahkan.
Riana menangis bahagia dikamarnya, mendengar sebuah perjanjian yang
diucapkan oleh seorang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya.
Sebuah perjanjian yang dimana arsy-pun ikut berguncang karena beratnya
perjanjian yang dibuat olehnya didepan Allah, dan dengan disaksikan para
malaikat dan manusia, kini mereka telah sah menjadi sepasang suami
isteri.
Pohon-pohon menjadi saksi bisu pertautan cinta mereka. Sebuah cinta yang
telah lama terpendam didasar hati yang teramat dalam. Tak ada satupun
orang yang tahu selain mereka dan Allah tentunya. Kini, biarkan mereka
menyemai benih-benih cintanya menjadi cinta yang sempurna karenaNya. . .
The End
Cerpen Karangan: Nadia Alzahra Humaira
Posting Lebih Baru Posting Lama